Senin, 19 September 2011

PENDIDIKAN KEJURUAN BERBASIS KEWIRAUSAHAAN


“Lingkaran Setan” Pendidikan, demikian judul tulisan Bapak Djauzak Ahmad pada kolom Opini Riau Pos, terbitan 17 April 2006.  Saya kenal beliau dan saya sangat hormat kepadanya sebagai salah seorang tokoh pendidikan di Provinsi Riau ini. Dari artikel tersebut saya melihat visi beliau tentang pendidikan yang tidak semua orang mungkin dapat memahaminya.
Ada tiga isu yang perlu kita garis bawahi pada artikel tersebut. Pertama, setiap kurikulum baru tidak mampu menjawab tantangan dunia pembangunan dan dunia kerja. Kurikulum negeri ini semakin hari semakin ”tidak membumi”. Artinya tidak menjawab apa yang diinginkan oleh dunia kerja baik, nasional, regional, apalagi internasional.  Kedua, gagasan Gubernur Riau sejak beliau dilantik November 2003 untuk mereposisi SMA dan SMK. Artinya merubah status SMA menjadi SMK, dengan rasio 40:60 atau yang paling ideal adalah 25:75, artinya 25 SMA berbanding 75 SMK. Ketiga, adalah budaya ambtenar,  ingin menjadi pegawai negeri. 
Sangat beralasan mengapa beliau mengangkat isu tersebut kepermukaan. Hal ini sesuai dengan kenyataan dan fakta yang ada bahwa pada beberapa tahun terakhir ini, angka pengangguran sudah mencapai titik puncaknya di Indonesia akibat krisis multidimensi yang berkepanjangan. Belum ada kelihatan titik terang pertanda perekonomian nasional akan recovery. Bahkan angka pengangguran makin bertambah setiap tahunnya dari lulusan pendidikan menengah yang tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan drop out dari pendidikan menengah dan pendidikan dasar.
Dalam suatu diskusi di harian Republika beberapa tahun yang lampau terungkap oleh Centre for Labour and Development Studies (CLDS) bahwa di Indonesia sampai akhir tahun 2001 ada 40,2 juta orang yang menyandang penganguran (Republika, 24 Januari 2003). Angka yang terdiri dari pengangguran resmi, pencari kerja, dan setengah pengangguran ini terus membengkak pada tahun 2002 sampai 2004 hingga menjadi 45,2 juta orang.  Akhir tahun 2005, angka pengangguran tercatat 40,4 juta jiwa dari jumlah angkatan kerja 106 juta orang. Menurut data pada Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka dari perguruan tinggi sekitar 3.15% untuk diploma, dan sekitar 3.61% untuk sarjana. Selebihnya adalah kontribusi dari SMA dan SMK yang tamat tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Kenyataannya, sebahagian besar atau sekitar 53.12% dari lulusannya sekolah/madrasah (khususnya SMU/MA) tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Jadi, kontribusi SMA dan SMK terhadap jumlah pengangguran adalah sekitar 1.076 juta orang, yakni dari lulusan pendidikan menengah yang tidak melanjutkan pada perguruan tinggi dan drop out. 
Dalam situasi yang serba sulit seperti ini, kondisi bertambah buruk lagi setelah beberapa PMA yang angkat kaki dari Indonesia seperti Sonny Coorporation dan lainnya akibat dari iklim politik, keamanan dan regulasi ekonomi yang terjadi di Indonesia.  Hal ini semua dikhawatirkan menjadi booming waktu yang berakibat fatal bagi pemerintahan dan struktur-struktur sosial budaya bangsa.      
Tidak heran mengapa harapan mulai tertuju pada bidang pendidikan. Bidang ini diharapkan mampu membuat trobosan (breaktrough) untuk dapat memproduksi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan mandiri. SDM yang diharapkan dapat dihasilkan dari pendidikan Menengah Atas, adalah SDM walaupun dalam keadaan bagaimanapun sulit dan daruratnya mampu mandiri untuk menolong dirinya sendiri keluar dari lilitan kesulitan yang dialami,  juga dapat menciptakan pekerjaan untuk orang lain. Dunia pendidikan mulai banyak membicarakan tentang relevansi pendidikan dan dunia kerja, link and match dan dual system program. Uji coba sudah banyak dibuat, tetapi hasilnya belum dapat dirasakan. Kelihatannya konsep yang diusulkan ini tidak menyelesaikan permasalahan juga.
Ternyata permasalahan utama lulusan pendidikan menengah adalah kemandirian. Mereka tidak terbiasa mandiri. Pendidikan hanya menghasilkan SDM yang bersemangat ambtenaar (karyawan). Output-nya diarahkan untuk menjadi pegawai atau bekerja untuk orang lain dan mendapat upah. Sudah seharusnya kita memutar haluan, menerapkan kurikulum pada pendidikan menengah atas berwawasan wirausaha.
Ouput pendidikan yang berjiwa wirausaha ini telah berhasil dibeberapa negara, diantaranya di Jepang, Singapore, dan Belanda.  Negara yang miskin akan sumber daya alam (SDA) ini ternyata jawara ekonomi dikawasannya masing-masing karena kelihaian mengembangkan jiwa kewirausahaan.
Pendidikan berwawasan wirausaha merupakan semacam pendidikan yang mengajarkan agar siswa mampu menciptakan kegiatan usaha sendiri setelah menamatkan pelajarannya. Pendidikan semacam itu dapat ditempuh dengan cara : (1) membangun keimanan, jiwa dan semangat, (2) membangun dan mengembangkan sikap mental dan watak wirausaha, (3) mengembangkan daya pikir dan cara berpikir wirausaha, (4) memajukan dan mengembangkan daya penggerak diri, (5) mengerti dan menguasai teknik-teknik dalam menghadapi risiko, persaingan dan suatu proses kerja sama, (6) mengerti dan menguasai kemapuan menjual idea, (7) memiliki kemampuan kepengurusan atau pengelolaan, serta (8) mempunyai keahlian tertentu termasuk penguasaan bahasa asing tertentu untuk keperluan komunikasi ( Riyanto – 2000:5).    
Adapun sebagai landasan yang dapat dipakai  untuk menerapkan Pendidikan Menengah Atas berwawasan Wirausaha adalah Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.

Sumbangan Wirausaha terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kita dapat belajar dari pengalaman Amerika, bagaimana wirausaha  dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kalau tidak karena wirausaha tersebut, entah apalah yang akan terjadi bagi perekonomian Indonesia. Sebagaimana dikatakan Drucker (1991) bahwa pada tahun tujuh-puluhan dan delapan puluhan terjadi perubahan besar pada ekonomi Amerika; suatu transformasi dari ekonomi “managerial” ke ekonomi “entrepreneurial”. Transformasi ini ditandai oleh oleh beberapa kecenderungan unik.  Periode pada tahun tujuh-puluhan ini disebut sebagai periode stagnasi ekonomi, karena ekonomi tanpa pertumbuhan. Akan tetapi dalam perode tersebut, antara tahun 1974-1984, lapangan kerja di Amerika bertambah dengan 24 juta.
Dari mana munculnya tambahan lapangan kerja selama periode stagnasi tersebut?.  Dari  perusahaan-perusahaan besar Amerika (kelompok FORTUNE 500)?. Universitas-universitas besar?. Lembaga-lembaga pemerintah?.  Tidak!  Selama periode 1960 sampai awal tahun 1980 lapangan kerja pada perusahaan –perusahaan besar di Amerika justru berkurang sekitar 4 sampai dengan 6 juta, demikian juga kesempatan kerja pada lembaga-lembaga pemerintah.
Nampaknya pencipta lapangan kerja selama periode stagnasi tersebut adalah perusahaan baru yang belum ada sekitar dua puluh tahun yang lalu. Menurut catatan “The Economist”, akhir-akhir ini Amerika sekitar 600,000 perusahaan baru didirikan setiap tahun, jadi sekitar tujuh kali banyaknya perusahaan baru yang didirikan per tahun pada tahun lima puluhan dan enam puluhan.             
Laju pertumbuhan perusahaan-perusahaan menengah ini dalam penjualan dan keuntungan tiga kali lebih besar dari pertumbuhan perusahaan-perusahaan besar  kelompok “Fortune 500”. Laju pertumbuhan lapangan kerja pada perusahaan-perusahaan ukuran sedang ini tiga kali laju pertumbuhan lapangan kerja dalam ekonomi Amerika.  Perusahaan kecil dan menengah yang mengangkat laju pertumbuhan ekonomi Amerika seperti yang dikatakan diatas sangat beraneka ragam baik dari jenis teknologi mupun bidang usahanya- dari teknologi maju sampai teknologi biasa, dari restoran, jasa finansial, klinik kesehatan, alat-alat rumah, penjual kue donat sampai surat khabar regional.  Dibalik keaneka-ragaman perusahaan-perusahaan tersebut, ada satu ciri yang sama pada perusahaan-perusahaan itu, yaitu: penggunaan suatu “ teknologi baru” yang namanya “ manajemen wirausaha” (entrepreneurial management).  
Wirausaha sebagai tulang punggug perekonomian bangsa dalam keadaan sulit juga telah teruji di Indonesia sewaktu terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Masih segar dalam ingatan kita bahwa banyak perusahaan-perusahaan konglomerat yang menjadi melarat. Perusahaan-perusahaan ini banyak yang bangkrut. Untung ada usaha kecil dan menengah (UKM), yang masih dapat bergerak sehingga perekonomian nasional masih dapat berputar walaupun dalam kondisi yang sangat ulit. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam UKM ini adalah sebenarnya wirausaha (entrepreneur).
Sudah saat kita belajar dari pengalaman negara lain. Dari kasus Amerika ini. Kita dapat belajar bahwa ternyata kewirausahaan mampu meningkatkan perumbuhan ekonomi nasional. Dari Jepang, Singapore, dan Belanda kita dapat belajar bagaimana negara miskin akan sumber daya alam tersebut mampu menjadi jawara ekonomi pada kawasannya. Sudah seharusnya kita merealisasikan wacana yang telah dicanangkan  Gubernur Riau untuk mereposisi SMA dan SMK dengan rasio 40:60.  Sudah seharusnya kita men-swith budaya kita dari budaya ambtenar menjadi budaya entrepreneur. Sudah seharusnya kita menerapkan pendidikan kejuruan berbasis kewirausaha.  Sudah seharusnya profesional pendidikan berbuat sesuatu bukan masih memikirnya. Sanggupkah kita????

Dr. Nurpit Junus, MM.
Dosen Politeknik Caltex Riau
.