Rabu, 05 Oktober 2011

TANTANGAN GURU DI ERA DIGITAL

Adakah Anda memperhatikan kelahiran anak pertama di rumah sakit, akhir-kahir ini? Jika belum, lakukanlah! Anda akan melihat fenemena baru yang terjadi disana, sebagai dampak dari kemajuan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK). Saya menemukan beberapa kali,  orang tua si bayi yang baru lahir tersebut melakukan hal yang sangat berbeda dengan apa yang saya lakukan terhadap kelahiran anak pertama saya tiga puluh tahun yang lalu. Sekarang, sang ayah, begitu anaknya lahir mengambil hand phone (HP) dan mengirimkan Short Message Service (SMS) untuk sanak saudara, karabat dan kenalan lainnya. Inti pesannya adalah memberitahukan bahwa anaknya telah lahir dan dilengkapi dengan data kuantitatif berupa berat, panjang dan data lainnya. Dalam hitungan detik, teks dari pesan tersebut sudah sampai ke si alamat.  Sang ibu lain lagi, sambil memeluk bayinya mengambil HP dan membidik anaknya untuk difoto. Foto tersebut dikirim juga ke karabat, saudara dan kenalannya. Juga dalam hitungan detik, image dari foto tersebut sudah dapat dilihat oleh penerimanya. Yang ingin saya sampaikan dari kasus ini adalah bahwa anak begitu lahir bahkan sebelum lahir di era ini sudah melihat kemajuan TIK. Perlu dicatat bahwa bayi ini dalam selang waktu enam tahun yang akan datang akan bersekolah dan berintekraksi dengan guru. Bayangkan apa yang akan terjadi bilamana gurunya tidak mengikuti kemajuan TIK bahkan masih gagap teknologi, tak bisa komputer  dan tak familiar dengan sistem digital.
Oleh sebab itu sekolah sebagai institusi pencetak generasi yang hidup dimasa mendatang harus mempunyai keperdulian terhadap perkembangan yang terjadi tersebut. Jika tidak, maka anak-anak yang kita didik akan tertinggal dengan perkembangan zaman karena perkembangan TIK tidak mempunyai toleransi. Pilihannya hanya dua, yaitu mampu beradaptasi dan mengadopsi atau tertinggal ke belakang. Guru sebagai ujung tombak di sekolah pada era ini dan era selanjutnya ditantang untuk melakukan akselerasi terhadap perkembangan TIK yang dapat mengubah infromasi baik yang tadinya berwujud tulisan, gambar, maupun suara menjadi wujud kumpulan lambang bilangan 0 dan 1, yang sering disebut digital. Dalam bentuk baru semacam ini informasi tersebut dapat diproses dengan peralatan yang namanya processor yang terdapat pada mesin komputer. Sebagian besar bahan ajar dimasa depan akan berbentuk digital, sehingga kertas tidak diperlukan lagi.
Proses pembelajaran mengaplikasikan TIK yang berbasis internet dengan bahan ajar digital menyebabkan terjadinya pergeseran proses belajar mengajar (PMB) dari yang biasa dilakukan guru. Rosenberg menyebutkan lima pergeseran tersebut, yakni: pergeseran dari pelatihan ke penampilan, pergeseran dari ruang kelas ke dimana dan kapan saja PMB dapat dilaksanakan, pergeseran dari kertas ke digital dan online sehingga paperless atau tanpa kertas, pergeseran dari fasilitas fisik ke fasilitas jaringan kerja atau populer dengan sebutan network, dan dari waktu siklus ke waktu nyata.   
Disamping itu juga terjadi pergeseran paradigma PBM yang dianut sekarang kepada konstruktivisme. Jika selama ini proses belajar di sekolah lebih ditandai oleh proses mengajar guru melalui ceramah dan proses belajar peserta didik melalui menghafal. Pengawasan terhadap keberhasilan mengajar selama ini lebih didasarkan pada tingginya ‘daya serap’ dalam pengertian yang sangat sumir akan ditinggalkan. Guru bukan lagi sebagai sumber belajar utama yang menyampaikan informasi atau bahan ajar dimana peserta didik dianggap sebagai gelas kosong yang siap diisi. Paradigma baru, peserta didik dianggap telah memiliki pengetahuan awal, dan tugas guru hanya mengkonstruksinya saja. Peserta didik dianalogikan tanaman yang sudah punya potensi untuk tumbuh dan berkembang, sedangkan guru hanya berfungsi sebagai penyiram yang membantu tanaman tumbuh dan berkembang dengan baik. Akibatnya, peran guru dalam mengajar berubah dari pengajar menjadi fasilitator dengan model pembelajaran yang berpusat pada siswa (student center), tidak lagi berpusat pada guru (teacher center). PBM mendatang bersifat memandirikan siswa dalam mengeksplorasi rasa keingintahuan mereka dengan pendekatan memecahkan masalah yang diberikan guru.
Konsekuensi dari bergulirnya paradigma konstruktif ini berdampak terhadap sumber daya belajar, diantaranya perpustakaan sekolah dan sumber daya fasilitas teknologi informasi sekolah termasuk fasilitas internet.  Kita tidak menutup mata akan kondisi sekolah saat ini yang sangat memprihatinkan. Sekolah dihadapkan pada kenyataan bahwa sumber belajar yang ada di perpustakaan sangat terbatas. Koleksi buku dan compact disc (CD) yang dimiliki sekolah tidak memadai bahkan kalaupun ada sudah usang atau kadaluarsa. Pembaharuan koleksi buku dan CD tentu memerlukan biaya yang sangat besar dimana sekolah tidak akan sanggup membiayainya. Kondisi ini tidak harus ditangisi, tetapi dengan kreatifitas dan inovasi guru terutama dengan menggunakan TIK dalam proses pembelajaran akan dapat membantu mengurangi permasalahan tersebut.
Alasannya, percaya atau tidak telah terjadinya revolusi pengetahuan dimana dunia sudah semakin go digital. Makin banyak buku yang telah dirubah ke dalam format digital book dan dengan mudah diakses melalui situs seperti Google Scholar dan Questia. Bahkan ada satu proyek besar untuk pendigitalkan buku yang disebut dengan nama project gutenberg. Proyek tersebut memiliki misi utama mendigitalkan buku-buku yang sudah berstatus public domain. Juga sudah seharusnya pemerintah, termasuk pemerintah provinsi, kabupaten dan kota untuk membiayai penerbitan electronik book (e-book) sebagai buku pedoman bagi peserta didik terutama sekali bagi jenjang sekolah dasar dan sekolah menengah yang dapat diakses dengan mudah dimana saja dengan fasilitas internet. Dengan adanya buku digital tersebut akan memudahkan mencari  informasi sebagai bahan ajar secara cepat dengan mengakses mesin pencari, seperti situs-situs Google dan Yahoo! Selain itu ada wikipledia yang merupakan sarana media informasi yang melimpah mengenai berbagai hal. Tidak berlebihan bila dikatakan bahwa wikipledia adalah ensiklopedia terbuka yang dapat diakses dengan mudah oleh peserta didik. Bukan hanya mengakses, peserta didik bisa juga mengisikan (meng-upload) hal-hal baru sehingga informasi dapat disebar yang tidak hanya lingkup kelas, tetapi lingkup dunia.
Keuntungan lain bagi guru adalah kesanggupan komputer untuk menyajikan teks nonsekuensial, nonlinear, dan multidimensional dengan percabangan tautan dan simpul secara interaktif. Tampilan tersebut akan membuat peserta didik lebih leluasa memilih, mensintesa, dan mengelaborasi pengetahuan yang ingin dipahaminya. Hal ini dapat mengakomodasi mereka yang lamban menerima pelajaran. Komputer tidak pernah bosan, sangat sabar dalam menjalankan instruksi seperti yang diinginkan. Kondisi ini sungguh sangat berbeda sekali dengan guru yang tidak mungkin sabar menjelaskan hal yang sama terus menerus pada peserta didik yang daya cernanya termasuk papan bawah. Selain itu peserta didik yang pintar dan cepat mengerti dapat terus langsung melanjutkan materi pelajarannya tanpa perlu dihalangi dan distandarisasi sama dengan peserta didik lainnya. Inilah iklim afektif dari pemanfaatan TIK dengan bahan ajar digital.
Pengelolaan kelas akan menekankan pada aspek pengaturan lingkungan dimana  sangat berbeda dengan pembelajaran biasa yang lebih menekankan aspek mengelola atau memproses materi pelajaran. Pengelolaan kelas memungkinkan mengkondisikan kelas yang optimal bagi terjadinya proses belajar, yang meliputi: pembinaan, penghentian perilaku peserta didik yang menyeleweng, pemberian ganjaran, penyelesaian tugas secara tepat waktu, dan penetapan norma kelompok yang produktif. Pengelolaan kelas ini mencakup pengaturan peserta didik dan fasilitas. TIK sendiri juga termasuk dalam pengaturan fasilitas untuk menunjang iklim konduksif, baik iklim kognitif maupun afektif dan skill. Iklim skill adalah yang paling dominan tercapai karena dapat meningkatkan kemampuan menulis, berkomunikasi dan mengakses pengetahuan dengan cepat, mudah dan tepat.
Transformasi pengelolaan kelas dari konvensional menjadi kontemporer dengan mengaplikasikan kemajuan TIK berbasis internet dan materi ajar yang digital memerlukan kerja keras dan kemauan yang dimotivasi oleh panggilan jiwa guru tersebut untuk menjadi seorang guru profesional. Guru harus mampu menggali potensi peserta didiknya yang dapat teraktualisasi dengan ketuntasan belajar. Tantangan bagi guru. Apakah guru akan melewati transformasi  ini dengan mulus?

Senin, 19 September 2011

PENDIDIKAN KEJURUAN BERBASIS KEWIRAUSAHAAN


“Lingkaran Setan” Pendidikan, demikian judul tulisan Bapak Djauzak Ahmad pada kolom Opini Riau Pos, terbitan 17 April 2006.  Saya kenal beliau dan saya sangat hormat kepadanya sebagai salah seorang tokoh pendidikan di Provinsi Riau ini. Dari artikel tersebut saya melihat visi beliau tentang pendidikan yang tidak semua orang mungkin dapat memahaminya.
Ada tiga isu yang perlu kita garis bawahi pada artikel tersebut. Pertama, setiap kurikulum baru tidak mampu menjawab tantangan dunia pembangunan dan dunia kerja. Kurikulum negeri ini semakin hari semakin ”tidak membumi”. Artinya tidak menjawab apa yang diinginkan oleh dunia kerja baik, nasional, regional, apalagi internasional.  Kedua, gagasan Gubernur Riau sejak beliau dilantik November 2003 untuk mereposisi SMA dan SMK. Artinya merubah status SMA menjadi SMK, dengan rasio 40:60 atau yang paling ideal adalah 25:75, artinya 25 SMA berbanding 75 SMK. Ketiga, adalah budaya ambtenar,  ingin menjadi pegawai negeri. 
Sangat beralasan mengapa beliau mengangkat isu tersebut kepermukaan. Hal ini sesuai dengan kenyataan dan fakta yang ada bahwa pada beberapa tahun terakhir ini, angka pengangguran sudah mencapai titik puncaknya di Indonesia akibat krisis multidimensi yang berkepanjangan. Belum ada kelihatan titik terang pertanda perekonomian nasional akan recovery. Bahkan angka pengangguran makin bertambah setiap tahunnya dari lulusan pendidikan menengah yang tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi dan drop out dari pendidikan menengah dan pendidikan dasar.
Dalam suatu diskusi di harian Republika beberapa tahun yang lampau terungkap oleh Centre for Labour and Development Studies (CLDS) bahwa di Indonesia sampai akhir tahun 2001 ada 40,2 juta orang yang menyandang penganguran (Republika, 24 Januari 2003). Angka yang terdiri dari pengangguran resmi, pencari kerja, dan setengah pengangguran ini terus membengkak pada tahun 2002 sampai 2004 hingga menjadi 45,2 juta orang.  Akhir tahun 2005, angka pengangguran tercatat 40,4 juta jiwa dari jumlah angkatan kerja 106 juta orang. Menurut data pada Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka dari perguruan tinggi sekitar 3.15% untuk diploma, dan sekitar 3.61% untuk sarjana. Selebihnya adalah kontribusi dari SMA dan SMK yang tamat tidak melanjutkan ke perguruan tinggi. Kenyataannya, sebahagian besar atau sekitar 53.12% dari lulusannya sekolah/madrasah (khususnya SMU/MA) tidak melanjutkan ke Perguruan Tinggi. Jadi, kontribusi SMA dan SMK terhadap jumlah pengangguran adalah sekitar 1.076 juta orang, yakni dari lulusan pendidikan menengah yang tidak melanjutkan pada perguruan tinggi dan drop out. 
Dalam situasi yang serba sulit seperti ini, kondisi bertambah buruk lagi setelah beberapa PMA yang angkat kaki dari Indonesia seperti Sonny Coorporation dan lainnya akibat dari iklim politik, keamanan dan regulasi ekonomi yang terjadi di Indonesia.  Hal ini semua dikhawatirkan menjadi booming waktu yang berakibat fatal bagi pemerintahan dan struktur-struktur sosial budaya bangsa.      
Tidak heran mengapa harapan mulai tertuju pada bidang pendidikan. Bidang ini diharapkan mampu membuat trobosan (breaktrough) untuk dapat memproduksi sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas dan mandiri. SDM yang diharapkan dapat dihasilkan dari pendidikan Menengah Atas, adalah SDM walaupun dalam keadaan bagaimanapun sulit dan daruratnya mampu mandiri untuk menolong dirinya sendiri keluar dari lilitan kesulitan yang dialami,  juga dapat menciptakan pekerjaan untuk orang lain. Dunia pendidikan mulai banyak membicarakan tentang relevansi pendidikan dan dunia kerja, link and match dan dual system program. Uji coba sudah banyak dibuat, tetapi hasilnya belum dapat dirasakan. Kelihatannya konsep yang diusulkan ini tidak menyelesaikan permasalahan juga.
Ternyata permasalahan utama lulusan pendidikan menengah adalah kemandirian. Mereka tidak terbiasa mandiri. Pendidikan hanya menghasilkan SDM yang bersemangat ambtenaar (karyawan). Output-nya diarahkan untuk menjadi pegawai atau bekerja untuk orang lain dan mendapat upah. Sudah seharusnya kita memutar haluan, menerapkan kurikulum pada pendidikan menengah atas berwawasan wirausaha.
Ouput pendidikan yang berjiwa wirausaha ini telah berhasil dibeberapa negara, diantaranya di Jepang, Singapore, dan Belanda.  Negara yang miskin akan sumber daya alam (SDA) ini ternyata jawara ekonomi dikawasannya masing-masing karena kelihaian mengembangkan jiwa kewirausahaan.
Pendidikan berwawasan wirausaha merupakan semacam pendidikan yang mengajarkan agar siswa mampu menciptakan kegiatan usaha sendiri setelah menamatkan pelajarannya. Pendidikan semacam itu dapat ditempuh dengan cara : (1) membangun keimanan, jiwa dan semangat, (2) membangun dan mengembangkan sikap mental dan watak wirausaha, (3) mengembangkan daya pikir dan cara berpikir wirausaha, (4) memajukan dan mengembangkan daya penggerak diri, (5) mengerti dan menguasai teknik-teknik dalam menghadapi risiko, persaingan dan suatu proses kerja sama, (6) mengerti dan menguasai kemapuan menjual idea, (7) memiliki kemampuan kepengurusan atau pengelolaan, serta (8) mempunyai keahlian tertentu termasuk penguasaan bahasa asing tertentu untuk keperluan komunikasi ( Riyanto – 2000:5).    
Adapun sebagai landasan yang dapat dipakai  untuk menerapkan Pendidikan Menengah Atas berwawasan Wirausaha adalah Instruksi Presiden RI Nomor 4 Tahun 1995 tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.

Sumbangan Wirausaha terhadap Pertumbuhan Ekonomi
Kita dapat belajar dari pengalaman Amerika, bagaimana wirausaha  dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Kalau tidak karena wirausaha tersebut, entah apalah yang akan terjadi bagi perekonomian Indonesia. Sebagaimana dikatakan Drucker (1991) bahwa pada tahun tujuh-puluhan dan delapan puluhan terjadi perubahan besar pada ekonomi Amerika; suatu transformasi dari ekonomi “managerial” ke ekonomi “entrepreneurial”. Transformasi ini ditandai oleh oleh beberapa kecenderungan unik.  Periode pada tahun tujuh-puluhan ini disebut sebagai periode stagnasi ekonomi, karena ekonomi tanpa pertumbuhan. Akan tetapi dalam perode tersebut, antara tahun 1974-1984, lapangan kerja di Amerika bertambah dengan 24 juta.
Dari mana munculnya tambahan lapangan kerja selama periode stagnasi tersebut?.  Dari  perusahaan-perusahaan besar Amerika (kelompok FORTUNE 500)?. Universitas-universitas besar?. Lembaga-lembaga pemerintah?.  Tidak!  Selama periode 1960 sampai awal tahun 1980 lapangan kerja pada perusahaan –perusahaan besar di Amerika justru berkurang sekitar 4 sampai dengan 6 juta, demikian juga kesempatan kerja pada lembaga-lembaga pemerintah.
Nampaknya pencipta lapangan kerja selama periode stagnasi tersebut adalah perusahaan baru yang belum ada sekitar dua puluh tahun yang lalu. Menurut catatan “The Economist”, akhir-akhir ini Amerika sekitar 600,000 perusahaan baru didirikan setiap tahun, jadi sekitar tujuh kali banyaknya perusahaan baru yang didirikan per tahun pada tahun lima puluhan dan enam puluhan.             
Laju pertumbuhan perusahaan-perusahaan menengah ini dalam penjualan dan keuntungan tiga kali lebih besar dari pertumbuhan perusahaan-perusahaan besar  kelompok “Fortune 500”. Laju pertumbuhan lapangan kerja pada perusahaan-perusahaan ukuran sedang ini tiga kali laju pertumbuhan lapangan kerja dalam ekonomi Amerika.  Perusahaan kecil dan menengah yang mengangkat laju pertumbuhan ekonomi Amerika seperti yang dikatakan diatas sangat beraneka ragam baik dari jenis teknologi mupun bidang usahanya- dari teknologi maju sampai teknologi biasa, dari restoran, jasa finansial, klinik kesehatan, alat-alat rumah, penjual kue donat sampai surat khabar regional.  Dibalik keaneka-ragaman perusahaan-perusahaan tersebut, ada satu ciri yang sama pada perusahaan-perusahaan itu, yaitu: penggunaan suatu “ teknologi baru” yang namanya “ manajemen wirausaha” (entrepreneurial management).  
Wirausaha sebagai tulang punggug perekonomian bangsa dalam keadaan sulit juga telah teruji di Indonesia sewaktu terjadinya krisis moneter pada tahun 1997. Masih segar dalam ingatan kita bahwa banyak perusahaan-perusahaan konglomerat yang menjadi melarat. Perusahaan-perusahaan ini banyak yang bangkrut. Untung ada usaha kecil dan menengah (UKM), yang masih dapat bergerak sehingga perekonomian nasional masih dapat berputar walaupun dalam kondisi yang sangat ulit. Perusahaan-perusahaan yang tergabung dalam UKM ini adalah sebenarnya wirausaha (entrepreneur).
Sudah saat kita belajar dari pengalaman negara lain. Dari kasus Amerika ini. Kita dapat belajar bahwa ternyata kewirausahaan mampu meningkatkan perumbuhan ekonomi nasional. Dari Jepang, Singapore, dan Belanda kita dapat belajar bagaimana negara miskin akan sumber daya alam tersebut mampu menjadi jawara ekonomi pada kawasannya. Sudah seharusnya kita merealisasikan wacana yang telah dicanangkan  Gubernur Riau untuk mereposisi SMA dan SMK dengan rasio 40:60.  Sudah seharusnya kita men-swith budaya kita dari budaya ambtenar menjadi budaya entrepreneur. Sudah seharusnya kita menerapkan pendidikan kejuruan berbasis kewirausaha.  Sudah seharusnya profesional pendidikan berbuat sesuatu bukan masih memikirnya. Sanggupkah kita????

Dr. Nurpit Junus, MM.
Dosen Politeknik Caltex Riau
.

Selasa, 16 Agustus 2011

PENDIDIKAN BERMUTU UNTUK MEWUJUDKAN INSAN INDONESIA CERDAS DAN KOMPETITIF


Judul tulisan ini adalah merupakan tema dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional tanggal 2 Mei 2006. Tema tersebut mengacu kepada spirit yang tertuang dalam Renstra Depdiknas tahun 2005-2009 yang menetapkan visi dan misi pendidikan nasional, yaitu mewujudkan pendidikan yang mampu membangun insan Indonesia yang cerdas dan kompetitif, yang berkeadilan, bermutu, dan relevan dengan kebutuhan masyarakat lokal dan global. Tema ini sangat tepat sekali dan sangat relevan dalam posisi pendidikan nasional kita yang jauh tertinggal jika dibandingkan dengan pendidikan di beberapa negara tetangga. Di pihak lain, harapan sangat besar terhadap pendidikan nasional agar dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi dan transformasi sosial, yang pada gilirannya juga akan mampu meningkatkan kesejahteraan bangsa. 
Undang-Undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 3 menjelaskan bahwa pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. Sehubungan dengan hal tersebut dalam Rencana Penbangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2004–2009 dijelaskan bahwa, pembangunan pendidikan nasional yang akan dilakukan dalam kurun waktu 2004–2009 telah mempertimbangkan kesepakatan-kesepakatan internasional seperti pendidikan untuk semua (Education for all), Konvensi Hak Anak (Convention on The Right of Child) dan Millenium Development Goals (MDGs) serta World Summit on Sustainable Development yang secara jelas menekankan pendidikan sebagai salah satu cara untuk penanggulangan kemiskinan, peningkatan keadilan dan kesetaraan gender, pemahaman nilai-nilai budaya dan multikulturalisme, serta peningkatan keadilan sosial.
Kalau kita pelajari secara seksama dan mendalam tentang isi dan makna  dari undang-undang  dan kebijakan pembangunan diatas, maka arah pembangunan pendidikan nasional sudah sangat jelas. Walaupun demikian, permasalahan pokok pendidikan yang sudah kronis juga belum ada tanda-tanda akan dapat teratasi dalam beberapa tahun kedepan. Pertanyaan, apakah mungkin fungsi pendidikan yang ideal diatas dapat dicapai bila permasalahan pendidikan yang kronis tersebut belum dapat teratasi?
Permasalahan pokok pendidikan berkisar pada pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi pendidikan.  Dari segi pemerataan pendidikan, walaupun pemerintah telah lama mencanangkan Wajib Belajar Pendidikan Dasar (Wajar Dikdas) 9 tahun, namun kenyataannya pada tingkat nasional, baru Provinsi Daerah Khusus Yogyakarta yang telah mencapai target tersebut. Penulis belum mendapatkan angka untuk Provinsi Riau, tetapi dapat dipastikan bahwa angka itu belum tercapai. Hal ini dapat dilihat dari komposisi populasi terhadap pendidikan. Jumlah penduduk Riau sekarang sekitar 4,6 juta jiwa. Dari jumlah penduduk itu,  sekitar 54%  atau berjumlah 2,5 juta yang orang tamat dan tidak tamat SD. Artinya, lebih dari separoh penduduk Riau hanya mendapat pendidikan selama enam tahun atau kurang. Belum berhasilnya pemerintah mentuntaskan Wajar Dikdas 9 tahun ini, suatu indikator ketimpangan kesempatan mendapatkan pendidikan.
  Masalah kedua adalah kualitas atau mutu pendidikan nasional.  Kualitas pendidikan nasional secara umum di Indonesia jauh tertinggal dari negara lain di kawasan Asia.  Menurut hasil survey Political and economic Risk Consultancy (PERC) yang dilakukan pada tahun 2000, tentang penilaian mengenai kualitas pendidikan di kawasan Asia menempatkan Indonesia di urutan ke 12 satu tingkat dibawah Vietnam. Menurut lembaga tersebut, sistem pendidikan di Indonesia adalah yang terburuk di kawasan Asia. Data ini masih cukup relevan walaupun survey itu dilakukan pada lima tahun yang lalu karena belum ada breaktrough action yang dibuat di republik ini untuk menggenjot mutu pendidikan nasional.
Dari segi relevansi, terdapat kesenjangan dan ketimpangan dengan kebutuhan masyarakat dan dunia kerja (industri).  Kecenderungan kuat, bahwa dunia pendidikan nasional tidak mampu mengantisipasi dan meresponi kebutuhan masyarakat dan perkembangan dunia kerja.  Ketimpangan kebutuhan masyarakat dan output pendidikan dapat dibuktikan dengan tingginya angka pengangguran. Dalam Kompas, 25 Desember 2005, disebutkan bahwa jumlah pengangguran selama tahun 2005 tercatat 40,4 juta jiwa dari jumlah angkatan kerja 106 juta orang. Menurut data pada Badan Pusat Statistik (BPS), angka pengangguran terbuka dari perguruan tinggi sekitar 3.15% untuk diploma, dan sekitar 3.61% untuk sarjana, selebihnya adalah tamatan pendidikan menengah atas  yang hampir jumlahnya sekitar 1.7 juta orang pertahun dan ditambah dengan PHK.
 Kualitas yang rendah (inferior) dan permasalahan relevansi perguruan tinggi berdampak kepada rendahnya daya saing nasional dan daya saing SDM yang dihasilkan oleh pendidikan menengah maupun pendidikan tinggi nasional dalam menghadapi persaingan global yang bercirikan kompetisi dalam kualitas dan efisiensi. Rendahnya mutu SDM Indonesia dapat dilihat dari laporan UNESCO tentang indeks pembangunan manusia - IPM (human development index- HDI). Dari 174 neraga yang di survey, Indonesia menduduki peringkat ke-102 pada tahun 1996; urutan ini sempat naik peringkat ke-99 pada tahun 1997, namun pada tahun-tahun berikutnya turun drastis, tahun 1998 menjadi  peringkat 105, tahun 1999 menempati urutan ke-109, dan tahun 2000 pada peringkat ke-112.  Selama selang waktu lima tahun terakhir, peringkatnya juga belum menunjukkan kenaikan yang signifikan karena belum adanya breaktrouh action yang dibuat pemerintah.
Daya saing bangsa (Indonesia) juga merupakan dampak turunan (trickle down effect) dari rendahnya mutu pendidikan. Dalam laporan Bank Dunia tercatat bahwa posisi daya saing Indonesia diantara 30 negara yang berpenduduk diatas 50 juta jiwa, menempati urutan ke 28. Adapun parameter yang digunakan untuk penilaian adalah aspek-aspek yang sangat erat kaitannya dengan kinerja pendidikan terutama sekali perguruan tinggi, seperti misalnya kontribusi sains, teknologi dan SDM terhadap dunia usaha atau perilaku inovatif perusahaan (Dikti, 2004:12) 
Kualitas dan relevansi merupakan dua aspek pendidikan yang saling berkaitan dan mempunyai kontribusi langsung pada peningkatan daya saing bangsa dalam bidang sumber daya manusia (SDM).  Meningkatkan kualitas dan relevansi pendidikan tinggi merupakan pekerjaan yang cukup kompleks, karena menyangkut banyak faktor seperti kualitas pendidik dan tenaga kependidikan, kualitas sarana dan fasilitas pendidikan, sisitem pengelolaan pendanaan, dan suasana akademik yang tercipta di dalam lingkungan lembaga pendidikan.
Sangat beralasan mengapa harapan terpusat kepada pendidikan. Pendidikan merupakan salah satu sektor terpenting yang berkontribusi dalam mengembangkan kualitas sumber daya manusia (SDM), bersama dengan sektor kesehatan dan gizi. Pendidikan juga dianggap sebagai yang utama dalam mengembangkan kualitas SDM dengan asumsi bahwa semakin terdidik seseorang, semakin tinggi kesadarannya akan kesehatan, dan makin tinggi partisipasinya dalam pembangunan lain.  Banyak organisasi terutama organisasi bisnis menyadari akan hal ini. Pendidikan dan pelatihan adalah salah satu cara dan yang utama untuk mengembangkan dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia yag dimilikinya.  
Dengan demikian, kualitas pendidikan dan pelatihan sangat mempengaruhi kualitas sumber daya manusia sebagai hasil produk dari institusi pendidikan tersebut. Hanya pendidikan yang berkualitas yang akan dapat menghasilkan sumber daya manusia yang berkualitas. Oleh karena itu tuntutan akan peningkatan kualitas pendidikan mutlak harus dilaksanakan. Peningkatan kualitas pendidikan tidak saja terletak pada peningkatan mutu input, output dan outcome tetapi juga pada proses dan Sumber Belajar (SB), Sumber Fasilitas dan Dana (SFD) dan Sumber Daya Manusia (SDM) pendidikan  Tambahan lagi dampak dari kemajuan teknologi yang begitu pesat dan sangat cepat sehingga mengakibatkan lapangan kerja lama dengan spesialiasi lama menjadi kadaluarsa, dan digantikan oleh lapangan kerja baru dengan spesialisasi baru. Hal ini mengharuskan diadakannya pendidikan dan pelatihan terhadap sumber daya manusia pendidikan, jika tidak mau ketinggalan. Untuk dapat memenuhi tuntutan tersebut, diperlukan investasi dalam bidang pendidikan untuk menselaraskan SB, SFD, dan SDM pendidkan yang dimiliki. Dengan lain perkataan perlu ada investasi baru atau penambahan investasi dalam bidang pendidikan. 
   Kembali kepada tema peringatan Hari Pendidikan Nasional tahun ini, penulis merasa sangat tepat sekali untuk diangkat kepermukaan agar kita dapat menyadari posisi pendidikan nasional kita. Suatu renungan, ”Mengapa Malaysia yang pada tahun 1970-an belajar di Indonesia, tapi dalam tahun 2000-an kita yang belajar dari mereka?. Jawabnya adalah komitmen pemerintahnya terhadap pendidikan, terutama sekali dari segi anggaran dan pembiayaan pendidikan.  Disinilah kita mengharapkan kemauan politik pemerintah untuk dapat merealisasi sebesar 20% dari Anggaran Belanja Negara untuk bidang pendidikan sebagai mana diamanatkan oleh amandemen Undang Undang Dasar 1945.  Kesejahteraan tenaga kependidikan dan perbaikan SFD pendidikan perlu diprioritaskan. Jika tidak, kita mimpi untuk  mencapai pendidikan bermutu agar dapat mewujudkan insan Indonesia cerdas dan kompetitif.

Dr. Nurpit Junus, MM.,
Dosen Politeknik Caltex Riau

KEBIJAKAN BBM DAN PEMBELAJARAN MASYARAKAT


Isu yang mencuat kepermukaan dalam beberapa minggu terakhir ini adalah kebijakan pemerintah menaikkan harga Bahan Bahan Minyak (BBM). Walaupun ada tendensi untuk mengalihkan isu ini kepada isu Front Pembela Islam (FPI), namun  isu BBM ini masih menjadi pembicaraan luas dimana saja dan pada setiap strata kehidupan masyarakat di republik ini. Menjadi pembicaraan luas karena kebijakan BBM adalah masalah  kompleks rakyat dan sekaligus memiliki konsekuensi dan implikasi sosial politik, ujungnya berdampak terhadap kehidupan masyarakat setiap warna negara.
Untuk pembelajaran, rakyat dapat mengerti alasan pemerintah menaikkan harga BBM. Rakyat mengerti bahwa pemerintah kesulitan keuangan karena APBN terkuras untuk mensubsidi BBM dan membayar hutang pemerintah.  Rakyat memahami alasan pemerintah bahwa yang menikmati subsidi BBM hanya segelintir masyarakat yang notabene adalah kalangan masyarakat mampu sehingga subsidi BBM tidak tepat sasaran. Rakyat menyadari bahwa subsidi BBM memicuh terjadinya penyeludupan dan pengoplosan. Tetapi perlu disadari pemerintah bahwa rakyat tidak serta merta dapat menyetujui kebijakan menaikkan harga BBM karena daya beli masyarakat yang sangat rendah. Banyaknya demonstrasi yang dilakukan oleh masyarakat, diantaranya mahasiswa, ibu rumah tangga, dan anggota masyarakat lainnya adalah pertanda bahwa kebijakan ini tidak populer (istilah Sri Mulyani) dan ditolak sebagian besar masyarakat.
Persepsi masyarakat akan kebijakan menaikkan harga BBM adalah kemelaratan dan kesengsaraan. Sudah terbayang oleh masyarakat bahwa kenaikan harga BBM akan mengurangi daya beli, meningkatkan biaya produksi perusahaan, mengurangi daya saing produksi nasional, dan akhirnya dapat mematikan sektor riil. Jika sudah begini, pengusaha akan melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sehingga menambah jumlah daftar pengangguran, membengkak jumlah masyarakat miskin, dan meningkatnya kriminalitas.  Rakyat masih sakit akibat dampak berantai dari kenaikkan harga BBM tahun 2005 yang lalu dan belum tahu kapan recovery. Kenaikkan harga BBM tahun 2008 ini membuat masyarakat makin sengsara. Jika diibaratkan penyakit, bagaikan penyakit kunker yang sudah stadium akhir.
Permasalahan inti dari kebijakan ini sebenarnya bukanlah kepopuleran atau tidakpopuleran. Yang lebih penting adalah, apakah pemerintah memahami kemampuan masyarakat, apakah pemerintah telah berbuat sesuatu yang signifikan sehingga layak mengambil keputusan menaikkan harga BBM yang notabene menambah beban rakyat, apakah pemerintah menyelami rasa penderitaan rakyat? Pertanyaan seterusnya adalah pantaskah pemerintah membebenai rakyat bilamana pemerintah belum melakukan perubahan yang sinifikan untuk rakyatnya? Perubahan dalam konteks ini adalah perubahan dalam pengelolaan Migas dan variabel-variabel kebijakan lain serta pengawasan dan efisiensi yang berkaitan dengan naiknya subsidi BBM.
Jangan heran bila rakyat mulai mengungkit janji kompanye SBY-JK pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden tahun 2004 lalu. Kedua beliau ini berjanji jika terpilih menjadi RI 1 dan RI 2, akan mengadakan perubahan. Dapat dipastikan bahwa rakyat memberikan vote kepada pasangan ini pada waktu itu karena isu perubahan ini. Pemahaman rakyat tentang perubahan itu sendiri tentu bervariasi dan beraneka ragam sesuai dengan pengharapan mereka. Jika untuk mengamankan APBN, pemerintah manaikkan harga BBM, tentu kebijakan ini bukan hal yang baru tetapi sudah ada sejak pemerintahan order baru.  Artinya, belum ada perubahan atau pembaharuan dalam kebijakan BBM. Apatah lagi kalau kita simak alasan pemerintah menaikkan BBM tahun ini sama dengan alasan menaikkan BBM tahun 2005 yang lalu.
Kalau kita telaah lebih mendalam, membengkaknya subsidi BBM, bukan hanya dikarenakan naiknya harga minyak dunia di pasar internasional tetapi juga ada faktor   lain yang juga sangat berpengaruh, yaitu menurunnya produksi minyak mentah dan besarnya penyelundupan dan pengoplosan. Untuk meningkatkan produksi minyak, pemerintah sudah seharusnya melakukan upaya-upaya intensifikasi sumur-sumur minyak yang ada dan membuka lapangan minyak baru. Berbagai kegiatan insentif dan promosi besar-besaran harus dilakukan untuk menarik investor menanam modalnya di industri perminyakan. Strategi penggelolaan Migas dengan sistem Kontrak Production Sharing atau bagi hasil yang idenya berdasarkan praktek yang berlaku pada pengelolaan pertanian pada masa lalu, saat ini kurang menarik bagi investor untuk berinvestasi atau kalah menarik jika dibandingkan dengan kondisi yang diberikan oleh negara lain. Jadi faktor pertama yang perlu dibenahi adalah peningkatan produksi minyak mentah. Untuk itu pemerintahan SBY-JK harus mencari langkah-langkah trobosan yang dapat menaikkan produksi perminyakan nasional.
Faktor kedua yang membuat subsidi BBM meningkat adalah maraknya  penyelundupan dan pengoplosan. Hal ini disebabkan lemahnya penegakkan hukum  di sektor perminyakan. Kita sangat berharap dengan diberlakukannya Undang-undang Migas  No. 22 tahun 2001 akan membawa angin segar terhadap perbaikan pengelolaan perminyakan nasional. Dengan adanya pemisahan antara pengelolaan kontraktor asing  yang sekarang dipegang oleh Badan Pengelola (BP) Migas dan Pertamina sebagai perusahaan di sisi hulu dan menghilangkan monopoli Pertamina  di sisi hilir serta menyerahkan pengaturan distribusi BBM dan transportasi gas melalui pipa yang diatur oleh Badan Pengatur Hilir (BPH) Migas diharapkan akan dapat mengefektifkan jalur operasi dan distribusi BBM. Tapi kenyataannya permasalahan ini, solusinya jalan ditempat. Penyelundupan dan pengoplosan dengan berbagai modus seperti pengoplosan, manipulasi tangki, merekayasa toleransi penguapan, pencurian minyak dari kilang ke tanker, dan banyak lagi belum dapat teratasi bahkan lebih licin dari licinnya BBM itu sendiri. Sangat tidak adil jika kegagalan pemerintah dalam mengawasi penyelewengan ini, dibebankan kepada rakyat. Oleh karena itu untuk meningkatkan pengawasan dan penegakan hukum perlu dipikirkan lagi membentuk Tim Terpadu (Timdu).
Faktor ketiga yang perlu dibenahi adalah sistem informasi, komunikasi dan networking. Dengan sistem infromasi dan komunikasi yang baik akan memudahkan keterbukaan dan trasparansi dalam menghitung subsidi BBM. Jika perhitungan subsidi adalah fungsi dari quota volume dan selisih harga pasar dengan harga subsidi, maka pemerintah harus transparan dengan kedua variabel tersebut. Kita berharap agar pemerintah dan DPR dapat menetapkan kuota volume dan harga BBM bersubsidi yang benar melalui pendataan yang valid terhadap konsumen pemakai BBM bersubsidi bukan berdasarkan asumsi yang dilakukan selama ini.  Disamping itu juga memperpendek rantai distribusi agar disparitas harga bisa diperkecil, efisiensi dapat ditingkatkan sehingga rakyat tetap menikmati harga BBM yang rendah. Sangat tidak adil pemborosan yang dilakukan oleh Pertamina atau Public Service Obligation   (PSO)  dibebankan pada pembeli BBM.
Pembenahan sistem belum akan berhasil optimum bilamana tidak diikuti dengan pembenahan faktor Sumber Daya Manusia (SDM). Untuk pembelajaran kita harus mencontoh ke Petronas, yakni perusahan perminyakan Malaysia yang menurut sejarahnya belajar dari Indonesia dan sekarang berhasil dan sukses mengelola perminyakan sehingga Petronas menjadi tuan dirumahnya sendiri. Mengapa Petronas sukses? Jawabannya adalah karena sumber daya manusianya yang jauh dari perilaku KKN. Jadi bukan karena undang-undangnya. Oleh karena itu sudah seharusnya pemerintah membenahi SDM yang terkait dalam pengelolaan perminyakan agar profesional, baik secara pengetahuan maupun moral. Saya setuju dengan pendapat Partowidagdo (2004) yang mengatakan bahwa pemerintah tidak perlu ragu-ragu mengangkat pegawai bangsa Indonesia yang pernah bekerja di perusahaan industri perminyakan internasional untuk pimpinan dan stafnya apabila memang lebih baik, yang penting pemilihannya harus transparan dan kalau tidak berprestasi atau korupsi langsung diganti.
Kalau semua faktor yang kita ungkapkan diatas telah maksimum dilakukan oleh pemerintah dan dapat dibuktikan kepada rakyat, maka rakyat dengan sukarela dapat menerima kebijakan pemerintah menaikkan harga BBM. Bukankah rakyat Indonesia ini adalah rakyat yang sangat cinta kepada bangsa dan negaranya.


Rumbai, 17 Juni 2008
Dr. Nurpit Junus, M.M
Dosen Politeknik Caltex Riau

MEMPERSIAPKAN GENERASI ISLAM MENJADI PEMIMPIN


Dalam rangka memperingati Tahun Baru Islam, 1 Muharram 1431 H marilah kita simak fakta sejarah  yang luar biasa yang tidak banyak diantara kita mengetahuinya.  Yang kita maksud adalah pertambahan yang spetakuler penduduk bumi beragama Islam. Kedua, ternyata sistem perekonomian dunia yang bersumber dari Agama Allah saja yang dapat mensejahterahkan ummat manusia di jagat raya ini.
            Jumlah penduduk dunia yang beragama Islam hari ini tercatat lebih dari 1.3 milyar orang. Padahal, sekitar 1500 tahun yang lalu, pada pelaksanaan Haji Wada tahun ke-10 Hijrah  jumlah muslim yang ikut dalam kafilah bersama Rasulullah saw hanya berjumlah 100.000 sampai 125.000 jiwa.  Jumlah itu setara 1 per 1000 dari total penduduk bumi ketika itu, yang jumlahnya sekitar 100 juta jiwa.  Kalau kita hitung secara matematika, secara rata-rata dapat dikatakan bahwa setiap 100 tahun, atau 1 abad, jumlah ummat Islam bertambah hampir sekitar 100 juta jiwa, atau sekitar 1 juta pertahun, atau sekitar 3000 orang setiap hari.  Jika perbandingan antara penduduk muslim dengan penduduk bumi di zaman Rasulullah saw adalah 1 per 1000, maka perbandingannya hari ini adalah 1 per 5. Jadi sekitar 20% penghuni bumi ini adalah muslim.   Allah Akbar.    
            Fakta sejarah yang luar biasa ini sangat menakjubkan kita. Penambahan populasi pemeluk Agama Islam ini terus bertambah di tengah seluruh upaya musuh-musuhnya untuk menghancurkan dengan berbagai cara baik dari internal maupun dari eksternal masyarakat muslim sendiri. Fakta sejarah juga yang berbicara.  Lihatlah bagaimana dendam orang-orang Persi yang kalah berujung dengan pembunuhan Ummar bin Khattab. Lihatlah bagaimana pasukan Tartar menghancurkan Bagdad pada abad ke-5 Hijrah. Lihatlah bagaimana pasukan Salib menduduki Palestina selama lebih 90 tahun. Lihatlah bagaimana Eropa kembali menjajah hampir seluruh Dunia Islam sejak abad ke-16 hingga pertengahan abad ke-20. Termasuk Indonesia yang dijajah Belanda lebih dari 350 tahun dan Aljazair yang dijajah lebih dari 125 tahun. Tapi agama ini tetap tumbuh dan berkembang. Pemeluknya terus bertambah tanpa berhenti. Bahkan beberapa bulan yang lalu, Vatikan mengeluarkan sebuah pernyataan yang sangat mengemparkan yakni bahwa jumlah pemeluk Agama Islam di seluruh dunia sudah lebih banyak dari pemeluk Agama Katolik yang hanya berjumlah hampir 17%.  Walaupun jumlah ummat Kristiani tetap lebih banyak jika disatukan, yaitu sebesar 33%, tapi Vatikan meyakini bahwa jumlah pemeluk Islam akan terus bertambah dan akan mengalahkan jumlah seluruh ummat Kristiani dalam waktu yang tidak terlalu lama.
            Fakta sejarah yang diungkapkan diatas, membenarkan janji Allah swt:   Mereka ingin memadamkan cahaya Allah dengan mulut (tipu daya) mereka, tetapi Allah (justru) menyempurnakan cahaya-Nya, walau orang-orang kafir membencinya. Dialah yang mengutus rasul-Nya dengan membawa petunjuk dan agama yang benar agar dia memenangkannya di atas segala agama-agama meskipun orang musyrik membencinya.”. (As-Shoff: 8-9).
            Sebagai muslim makin yakin kita bahwa agama Islam tidak akan mungkin hapus dimuka bumi walaupun berbagai tipu muslihat yang dilakukan oleh musuh-musuh Islam yang kasat mata ataupun musuh yang dalam selimut. Apa yang tidak disadari oleh musuh-musuh Islam itu adalah fakta bahwa seluruh kehidupan manusia di jagat raya ini berjalan dalam kendali Allah Yang Maha Kuasa. Seluruh hati dan jiwa manusia ada dalam genggaman-Nya. Walaupun ada kalangan yang terus menerus memusuhi Islam dari Barat sana yang tidak hentinya melakukan makar dan konspirasi, justru  di bumi Eropa itu terdapat sekitar 25%, atau sekitar 100 juta jiwa dari total populasi benua itu adalah muslim. Begitulah cara Allah swt menyatakan kekuasaan-Nya, sesuai dengan firman-Nya: ”Itulah (karunia Allah yang dilimpahkan kepadamu), dan Sesungguhnya Allah melemahkan tipu daya orang-orang yang kafir”. (Al-Anfaal : 18). Disamping itu, juga dapat kita lihat firman Allah swt pada ayat lain: ”Dan janganlah orang-orang yang kafir itu mengira, bahwa mereka akan dapat lolos (dari kekuasaan Allah). Sesungguhnya mereka tidak dapat melelahkan (Allah)”.  (Al-Anfaal:59).
            Sejarah berulang kembali. Dulu Rasulullah saw dibangkitkan menjelang keruntuhan Persi dan Romawi. Sekarang, ada sinyal bahawa Islam akan bangkit kembali setelah hancurnya sistem sosialis dan kapitalis. Selama hampir dua dekade sejak keruntuhan Uni Soviet pada tahun 1990-an.  Barat mempercayai bahwa sistem kehidupan kapitalisme ditakdirkan menjadi akhir dari sejarah pencarian ideologi manusia. Tapi sekarang, setelah runtuhnya lembaga-lembaga keuangan raksasa di Wall Street, Amerika yang oleh     dinamai prahara     terbukti  kembali bahwa keruntuhan kapitalisme sedang berlangsung. Ummat manusia kini berada pada persimpangan sejarah dimana pergantian peradapan sedang berlangsung di muka bumi dengan kehendak langit. Sistem perekonomian kapitalis dan sosialis ternyata tidak mensejahterahkan ummat manusia, sistem perekonomian syariah mulai dilirik. Sinar kebangkitan Islam sudah muncul menampakkan cahayanya. Tinggal kita, ummat Islam bagaimana menyingkapinya. 
            Pengulangan fakta sejarah harus kita sikapi dengan belajar dari sejarah itu sendiri. Kita harus meyiapkan diri untuk menjadi pemimpin dunia terutama sekali dari generasi muda Islam dengan banyak belajar dari kesuksesan generasi terdahulu yang pernah menjadi pemimpin dunia di zamannya. Marilah kita belajar dan mematrikan kembali semangat dakwah Mus’ab Bin Umaer yang mengislamkan Madinah.   Patrikan kembali semangat penaklukan Khalid Bin Walid yang dapat mengalahkan Romawi di Yarmuk. Patrikan kembali semangat perjuangan Saad Bin Abi Waqqas yang mengalahkan Persi di Qadisiyah. Patrikan kembali keagungan Ummar Bin Khatab saat membebaskan Al Aqsha. Patrikan kembali semangat pertarungan Al Muzaffar Quthuz yang mengusir pasukan Tartar di Ain Jalut. Patrikan kembali semangat pembebasan Salahuddin Al Ayyubi yang mengusir pasukan Salib di Hittin. Patrikan kembali pemimpin muda Muhammad Al Fatih yang baru berumur 23 tahun sewaktu membebaskan Konstantinopel. Semangat perjuangan adalah salah satu karakteristik pemimpin kelas dunia.  
            Perjuangan pemimpin dunia yang kita utarakan diatas sesuai dengan zamannya. Dalam kontek kekinian mungkin tidak relevan lagi tetapi semangatnya harus dicontoh. Marilah kita bangkit  di semua lini kehidupan. Kita mulai dari diri kita dan mulai sekarang juga karena kita berpacu dengan waktu. Marilah kita bangkit dan menjadi pemimpin dalam bidang kesenian dan kebudayaan.  Marilah kita bangkit dan menjadi pemimpin dalam kemasyarakatan dengan menyebarkan kebajikan sosial dan mendukung semua lembaga-lembaga charity yang ada. Marilah kita bangkit dan menjadi pemimpin dalam bidang pendidikan dengan memperbaiki kualitas dan kuantitas lembaga-lembaga pendidikan untuk menciptakan generasi Islam yang menguasai IPTEK. Marilah kita bangkit dan menjadi pemimpin dalam sektor ekonomi dengan menyebarkan semangat kewirausahaan dan mendorong munculnya pengusaha-pengusaha muslim yang dapat menguasai perekonomian global. Kita harus bangkit disemua lini kehidupan dan menyiapkan diri untuk menjadi pemimpin di sektor tersebut. Marilah kita menjadi pemimpin di negeri ini yang dapat merubah wajah suram negeri ini menjadi negeri yang dipenuhi kedamaian, keadilan dan kesejahteraan yang mendapat berkah dari langit dan bumi. Hal ini sesuai dengan firman Allah swt, ” Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, Pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, Maka Kami sisksa mereka disebabkan perbuatannya (Al-A’raf: 96). Semoga dapat kita renungkan dalam merayakan tahun baru Islam, 1431 H ini. 

Pekanbaru, 5 Desember 2009
Dr. Nurpit Junus, MM
Wakil Direktur Politeknik Caltex Riau